masukkan script iklan disini
Medan, 22 Mei 2025

Konflik agraria di Sumatera Utara kembali mencuat ke permukaan setelah tindakan kontroversial yang dilakukan oleh pengembang properti Citraland dan PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II).
Mereka memagari lahan eks-HGU PTPN II seluas 5.873 hektare yang telah dinyatakan sebagai tanah negara bebas oleh Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid. Langkah ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk aktivis agraria dan masyarakat adat.
Rules Gaja, S.Kom, seorang penggiat tanah ulayat nasional, menyatakan keprihatinannya terhadap situasi ini. Ia mempertanyakan apakah pemerintah akan tunduk pada tekanan korporasi dan BUMN yang diduga melanggar hukum. Menurutnya, tindakan Citraland dan PTPN II mencerminkan arogansi yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan petani yang telah menggarap lahan tersebut selama hampir tiga dekade.
"Jika pengembang properti seperti Citraland bisa bertindak sewenang-wenang atas tanah negara, maka pertanyaan kritis harus diajukan: Apakah Menteri ATR/BPN akan kalah? Apakah pemerintah akan tunduk kepada tekanan korporasi dan BUMN pelanggar hukum?" ujar Rules Gaja.
Sebelumnya, Menteri ATR/BPN Nusron Wahid telah menegaskan bahwa lahan eks-HGU PTPN II tersebut berstatus tanah negara bebas dan menjadi prioritas untuk reforma agraria. Namun, tindakan pemagaran oleh Citraland dan PTPN II menunjukkan ketidakpatuhan terhadap pernyataan resmi tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak masyarakat atas tanah.
Situasi ini menyoroti perlunya tindakan tegas dari pemerintah untuk memastikan bahwa reforma agraria berjalan sesuai dengan hukum dan tidak dikendalikan oleh kepentingan korporasi. Masyarakat menantikan langkah konkret dari Menteri ATR/BPN dan instansi terkait untuk menyelesaikan konflik ini dan mengembalikan hak atas tanah kepada mereka yang berhak.
Liputan:Tim